Minggu, 10 April 2011

Imron Bin Husain, ra

Di tahun perang Khaibarlah ia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bai’at.Dan semenjak ia menaruh tangan kanannya di tangan kanan Rasul, maka tangan kanannya itu beroleh penghormatan besar, hingga bersumpahlah ia pada dirinya tidak akan menggunakannya kecuali untuk perbuatan utama dan mulia.
Pertanda ini merupakan suatu bukti jelas bahwa pemiliknya mempunyai perasaan yang amat halus.

‘Imran bin Hushain radhiyallah ‘anhu merupakan gambaran yang tepat bagi kejujuran, sifat zuhud dan keshalehan serta mati-matian dalam mencintai Allah dan mentaati-Nya. Walaupun ia beroleh taufik dan petunjuk Allah yang tidak terkira, tetapi ia sering menangis mencucurkan air mata, ratapnya: — “Wahai, kenapa aku tidak menjadi debu yang diterbangkan angin saja.”
Orang-orang itu takut kepada Allah bukanlah karena banyak melakukan dosa, tidak! Setelah menganut Islam, boleh dikata sedikit sekali dosa mereka! Mereka takut dan cemas karena menilai keagungan dan kebesaran-Nya, bagaimanapun mereka beribadat ruku’ dan sujud, tetapi ibadatnya, dan syukurnya itu belumlah memadai ni’mat yang mereka telah terima.
Pernah suatu saat beberapa orang shahabat menanyakan pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Ya Rasulullah, kenapa kami ini? Bila kami sedang berada di sisimu, hati kami menjadi lunak hingga tidak menginginkan dunia lagi dan seolah-olah akhirat itu kami lihat dengan mata kepala.
Tetapi demi kami meninggalkanmu dan kaml berada di lingkungan keluarga, anak-anak dan dunia kami, maka kami pun telah lupa diri?”
Ujar RasuIuIlah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : –
“Demi Allah, Yang nyawaku berada dalam tangan-Nya!
Seandainya kalian selalu berada dalam suasana seperti di sisiku, tentulah malaikat akan menampakkan dirinya menyalami kamu. Tetapi, yah yang demikian itu hanya sewaktu-waktu, !”
Pembicaraan itu kedengaran oleh’Imran bin Hushain, maka timbullah keinginannya, dan seolah-olah ia bersumpah pada dirinya tidak akan berhenti dan tinggal diam, sebelum mencapai tujuan mulia tersebut, bahkan walau terpaksa menebusnya dengan nyawanya sekalipun! Dan seolah-olah ia tidak puas dengan kehidupan sewaktu-waktu itu, tetapi ia menginginkan suatu kehidupan yang utuh dan padu, terus-menerus dan tiada henti-hentinya, memusatkan perhatian dan berhubungan selalu dengan Allah Robbul’alamin.
Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab, ‘Imran dikirim oleh khalifah ke Bashrah untuk mengajari penduduk dan membimbing mereka mendalami Agama. Demikianlah di Bashrah ia melabuhkan tirainya, maka demi dikenal oleh penduduk, mereka pun berdatanganlah mengambil berkah dan meniru teladan ketaqwaannya.
Berkata Hasan Basri dan Ibnu Sirin: — “Tidak seorang pun di antara shahabat-shahabat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang datang ke Bashrah, lebih utama dari ‘Imran bin Hushain.”
Dalam beribadat dan hubungannya dengan Allah, ‘Imran tak sudi diganggu oleh sesuatu pun. Ia menghabiskan waktu dan seolah-olah tenggelam dalam ibadat, hingga seakan-akan ia bukan penduduk bumi yang didiaminya ini lagi. Sungguh, seolah-olah ia adalah Malaikat, yang hidup di lingkungan Malaikat, bergaul dan berbicara dengannya, bertemu muka dan bersalaman dengannya….
Dan tatkala terjadi pertentangan tajam di antara Kaum Muslimin, yaitu antara golongan Ali dan Mu’awiyah, tidak saja ‘Imran bersikap tidak memihak, bahkan juga ia meneriakkan kepada ummat agar tidak campur tangan dalam perang tersebut, dan agar membela serta mempertahankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Katanya pada mereka: — “Aku lebih suka menjadi pengembala rusa di puncak bukit sampai aku meninggal, daripada melepas anak panah be salah satu pihak, biar meleset atau tidak.”
Dan kepada orang-orang Islam yang ditemuinya, diamanatkannya: — “Tetaplah tinggal di mesjidmu. Dan jika ada yang memasuki mesjidmu, tinggallah di rumahmu. Dan jika ada lagi yang masuk hendak merampas harta atau nyawamu, maka bunuhlah dia.”
Keimanan Imran bin Hushain membuktikan hasil gemilang.
Ketika ia mengidap suatu penyakit yang selalu menggangu selama 30 tahun, tab pernah ia merasa kecewa atau mengeluh.
Bahkan tak henti-hentinya ia beribadat kepada-Nya, baik di waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring.
Dan ketika para shahabatnya dan orang-orang yang menjenguknya datang dan menghibur hatinya terhadap penyakitnya itu, ia tersenyum sambil ujamya: — “Sesungguhnya barang yang paling kusukai, ialah apa yang paiing disukai Allah.” Dan sewaktu ia hendak meninggal, wasiatnya kepada kaum kerabatnya dan para shahabatnya, ialah: “Jika,kalian,telah kembali dari pemakamanku, maka sembelihlah hewan dan adakanlah jamuan.”
Memang, sepatutnyalah mereka menyembelih hewan dan mengadakan jamuan! Karena kematian seorang Mu’min seperti ‘Imran bin Hushain bukanlah merupakan kematian yang sesungguhnya! Itu tidak lain dari pesta besar dan mulia, di mana suatu ruh yang tinggi yang ridla dan diridlai-Nya diarak ke dalam surga, yang besarnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-rang yang taqwa.

Senin, 21 Maret 2011

Zaid bin haritsah, Ra (Panglima Perang Mu'tah)

Zaid bin Haritsah


Zaid bin Haritsah, seorang yang dilukiskan oleh para ahli sejarah dengan perawakan biasa, pendek, kulitnya coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek, adalah termasuk pahlawan-pahlawan Islam yang besar.

Sudah lama sekali Su’da, isteri Haritsah, berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Maan. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatanya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya (ayah Zaid) mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan Su’da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan isterinya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya disertai perasaan aneh: menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Karena ia harus menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, perasaan gundah itu hilang jua. Kafilah pun berangkat meninggalkan kampung itu; Harisah pun mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan anaknya ….

Haritsah melepas kepergian isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Isteri dan anaknya pun sangat sedih dalam peristiwa perpisahan itu.

Setelah mereka berdua sampai di tempat tujuan, beberapa waktu kemudian terjadilah musibah yang menimpa penduduk kampung Bani Maan. Kampung itu habis porak-poranda diserang oleh gerombolan perampok Badui. Semua barang berharga milik penduduk kampung itu dikuras habis; penduduknya ditawan dan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah.

Dengan perasaan duka, pulanglah Su’da untuk menyusul suaminya seorang diri. Demi Haritsah mengetahui kejadian itu, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya segera ia berjalan mencari anak kesayangannya. Padang pasir dijelajahinya, kampung demi kampung diselidikinya. Sesekali ia bertanya kepada kabilah yang lewat; kalau-kalau ada yang tahu keberadaan anaknya tersayang, Zaid. Usahanya itu pun belum menunjukan hasil. Sambil menghibur diri, ia bersyair:

“Kutangisi Zaid ku tak tahu apa yang telah terjadi
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati?
Demi Allah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya
Apakah di lebah ia celaka, atau dibukit ia binasa?
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma
Tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi merana.”

Ketika kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokannya. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam. Pada kemudian harinya ia memberikannya kepada Siti Khadijah. Pada waktu itu, Khadijah ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat menjadi rasul oleh Allah SWT).

Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Muhammad. Beliau pun menerimanya dengan senang hati, lalu segera memerdekannya. Dengan pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anaknya sendiri.

Pada salah satu musim haji, sekelompok orang dari desa tempat Haritsah tinggal berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bunda Zaid. Zaid balik menyampaikan pesan salam rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Kepada para hujaj atau jamaah haji itu, Zaid berkata, “Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”

Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah bersama seorang saudaranya. Sesampainya di Mekah, ia menanyakan di mana rumah Muhammad. Setelah bertemu dengan Muhammad, Harisah berkata, “Wahai Ibnu Abdul Muththalib…!, wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”

Muhammad merasakan benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tetapi dalam pada itu merasakan pula hal seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Muhammad kepada Haritsah,”Panggilah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!”

Mendengar ucapan Muhammad yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegirangan karena tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan seperti itu, lalu ucapnya: “Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!”

Kemudian Muhammad menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya dihadapannya, beliau langsung bertanya, “Tahukah Engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu,” jawab Zaid.” Yang ini ayahku, sedangkan yang seorang lagi adalah pamanku.”

Kemudian Muhammad mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.

Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab, “Tak ada orang pilihanku, kecuali Anda (Muhammad)! Andalah ayah, dan Andalah pamanku!”

Mendengar itu, kedua mata Muhammad basah dengan air mata karena rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu serunya:

“Saksikan oleh kalian semua bahwa mulai saat ini Zaid adalah anakku… yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.”

Mendengar ucapan itu hati Harits seakan-akan berada diawang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malahan sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin”(orang lurus terpercaya), keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.

Meskipun telah sekian lama merindukan anaknya kembali, Zaid dan pamannya pulang dengan hati yang tenteram karena anaknya berada dalam naungan keluarga yang termulia, keluarga Muhammad.

Muhammad telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat, maka menjadi terkenallah ia diseluruh Mekah dengan nama “Zaid bin Muhammad.”

Pada suatu hari yang cerah, seruan wahyu yang pertama datang kepada Muhammad, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan! Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.” (al-Alaq: 1-5).

Kemudian datang susul-menyusul wahyu berkikutnya kepadanya, “Wahai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah.” (al-Muddatsir: 1-3)

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (genggaman) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 67)

Tidak tak lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu tersebut, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam, bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama.

Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar disebabkan kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, sertaiterpelihara lidah dan tangannya.

Semua itu menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid Kesayangan” sebagaimana yang telah dipanggilkan sahabat-sahabat rasul kepadanya. Berkatalah Aisyah ra, “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat menjadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah.”

Suatu ketika Rasulullah saw berdiri melepas bala tentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang Muktah melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya:

“Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib; dan seandainya Jafar tewas pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Rawahah.”

Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah saw. Siapakah sebenarnya Zaid ini?

Ia seorang anak yang pernah ditawan, diperjualbelikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek, tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka. Karena itulah, ia mendapt temapat yang tinggi di dalam Islam dan di hati Rasululah saw.

Rasulullah saw menikahkan Zaid dengan Zainab. Sayangnya, pernikahannya tidak berumur panjang dan berakhir dengan perceraian. Kesediaan Zainab menikah dengan Zaid hanya karena rasa enggan menolak anjuran dan syafaat Rasulullah, dan karena tidak sampai hati menolak Zaid sendiri. Maka Rasulullah saw mengambil tanggung jawab terhadap rumah tangga Zaid ini yang telah pecah itu. Rasulullah merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemudian mencarikan Ummu Kultsum binti ‘Uqbah yang kemudian dinikahkan dengan Zaid.

Karena peristiwa tersebut, terjadilah kegemparan di kalangan masyarakat kota madinah. Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya.

Tantangan dan kecaman ini kemudian dijawab oleh Allah SWT dengan wahyu-Nya yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau anak adaptasi dengan anak sebenarnya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut:

“Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki (yang ada bersama) kalian. Tetapi, ia adalah Rasul Allah dan Nabi penutup. (al-Ahzab: 40)

Dengan turunnya wahyu tersebut, Zaid kemudian dipanggil dengan sebutan “Zaid bin Haritsah.”

Dan sekarang….
Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang “Al-Jumuh” komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Kekuatan-kekuatan laskar Islam yang begerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-’Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah juga? Begitulah, sebagaimana yang pernah kita dengar dari Aisyah ra sebelumnya, “Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat menjadi pemimpinnya.”

Suatu ketika datanglah perang Muktah yang terkenal itu. Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan mereka. Terutama di daerah jajahan mereka, Syam (Syiria) yang berbatasan dengan negara dari agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan untuk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.

Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tuan terakhir mereka yang hendak menumpas kakuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang yang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak sebelum diserang di daerahnya sendiri.

Demikianlah, pada bulan Jumafil Ula, tahun yang kedelapan Hijriah, tentara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka dihadapi tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerahkan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedangkan laskar Islam mengambil posisi di dekat negeri kecil yang bernama Muktah yang kemudian dijadikan nama pertempuran ini.

Rasulullah saw mengetahui benar arti penting dan bahayannya peperangan ini. Oleh sebab itu, beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam bertakarub mendekatkan mendekatkan diri kepada Ilahi, sedangkan di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela agama. Tiga orang pahlawan itu adalah mereka yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, yang mengharap semata-mata ridha Illahi dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak.

Mereka bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah rela kepada mereka dan menjadikan mereka rela kepada-Nya, serta Allah merelakan pula seluruh sahabat lainya.

Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat, “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Harits sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan senadainya Ja’far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawabah.”

Ja’far bin Abi Thalib dijadikan orang yang kedua setelah Zaid, meskipun keberanian dan ketangkasanya serta keturunan dan kebangsawanannya tidak diragukan lagi, bahkan orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri.

Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang batil dan rasialisme. Islam mengganti sistem-sistem yang tidak baik itu atas bimbingan dan hidayah Ilahi yang berpokok kepada hakikat kemanusiaan.

Ketika Rasulullah memilih mereka bertiga untuk menjadi pemimpin pasukan secara berurutan, seolah-olah beliau telah telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuarn yang akan berlangsung. Beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu lalu Ja’far, kemudian Ibnu Abi Rawahah, ternyata ketika mereka menemui ajalnya, pulang ke rahmat Allah sebagai syuhada, sesuai dengan urutan itu pula.

Demi Kaum Muslimin melihat tentara romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duka sama sekali, mereka terkejut. Tetapi kapankah pertarungan yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?

Ketika itulah, disana, merek amaju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh. Didepan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah SAW. maju menyerbu laksana topan, dicelah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yaknitempat pembaringan disisi Allah, karen sesuai dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang Mu’min dengan surga sebagai imbalannya.” (QS. at-Taubah: 111)

Zaid tak sempat melihat pasir Balqa’, bahkan pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahwa irulah hari istirahat dan kemenanggannya.

Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menbas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyala membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya kekampung kedamaian, surga yang kekal disisi Allah.

Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir. Rohnya yang melayang dalam perjalannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.

Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua Ja’far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya. untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ketanah.

Kamis, 17 Maret 2011

ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM (Lelaki Buta Pemeluk Cahaya Hidayah)

ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM


Seorang laki-laki buta yang Allah turunkan ayat mengenainya sebanyak enam ayat yang akan terus dibaca dan akan terus dibaca hingga hari kiamat.”

(Ahli Tafsir al-Qur’an)


Siapakah laki-laki yang dengan sebabnya Rasulullah mendapat teguran yang sangat keras dari atas langit ke tujuh dengan teguran yang sangat membuat beliau sakit.

Siapakah laki-laki yang dengan sebabnya malaikat Jibril datang untuk menyampaikan wahyu dari Rasulullah untuk nabi Muhammad?”

Dia adalah Abdullah bin Ummi Maktum, muadzin Rasulullah `.

Abdullah bin Ummi Maktum berasal dari Makkah dari suku Quraisy. Dia masih mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah`. Abdullah bin Ummi Maktum adalah putra paman Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid ra, istri beliau.

Ayahnya bernama Qais bin Zaid dan ibunya bernama Atikah binti Abdullah. Atikah dipanggil dengan sebutan Ummi Maktum karena dia melahirkan Abdullah dalam keadaan buta.

Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan munculnya ‘cahaya di Makkah. Dia merupakan orang yang terdahulu masuk ke dalam Islam.

Abdullah bin Ummi Maktum hidup di tengah-tengah cobaan yang menimpa kaum muslimin, namun dia menghadapinya dengan penuh pengorbanan, keteguhan, dan kekokohan iman.

Abdullah bin Ummi Maktum menghadapi semua cobaan yang menimpa para sahabatnya dari kalangan kaum muslimin. Dia juga merasakan siksaan yang mereka rasakan, namun dia kehilangan nyali, semangatnya tidak memudar dan imannya tidak melemah.

Hal itu justru menambah keteguhannya dalam berpegang teguh pada agama Islam, semakin bergantung kepaa Al-Qur’an, semakin mendalami syariat Allah, dan semakin menerima ajaran Rasulullah `.

Di antara bentuk loyalitasnya pada Rasulullah dan bentuk kesungguhannya dalam menghafal al-Qur’an ialah Abdullah bin Ummi Maktum selalu menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk menghafalnya. Setiap kali ada peluang dia langsung mengambilnya. Bahkan terkadang dia mengabaikan hak-haknya dan hak Rasul karena besarnya keinginan untuk mendalami Islam.

Pada saat-saat itu Rasulullah sedang gencar-gencarnya berdakwah kepada para pemuka Quraisy sangat berambisi untuk mengislamkan mereka. Pada suatu hari Rasulullah mengadakan pertemuan dengan Utbah bin Rabi’ah ,saudaran kandungnya Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Jahal, dan Walid bin Mughirah ayah Khalid bin Walid sang pedang Allah. Rasulullah membujuk mereka dan menjelaskan indahnya Islam kepada mereka. Rasulullah sangat berambisi mereka semua mau mengikuti seruan Rasulullah atau mereka menghentikan siksaan mereka kepada para sahabat beliau.

Ketika Rasulullah masih mengadakan pertemuan dengan para pemuka Quraisy, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ummi Maktum yang hendak meminta Rasulullah agar mengajarinya sebagaian ayat Al-Qur’an. Abdullah bin Ummi Maktum berkata, “Wahai Rasulullah ajarkan padaku ayat yang diajarkan Allah kepadamu.”

Namun Rasulullah justru memalingkan wajah dari Abdullah bin Ummi Maktum dan bermuka masam padanya. Rasulullah lebih mementingkan para pemuka kaum Quraisy. Rasulullah lebih mementingkan mereka dengan harapan agar mereka masuk ke dalam Islam dan keislaman mereka akan menyebabkan Islam mulia dan dapat membantu dakwah Rasulullah.

Ketika Rasulullah telah selesai mendakwahi para pemuka Quraisy dan bercakap-cakap dengan mereka, akhirnya beliau pulang. Ketika Rasulullah hendak pulang tiba-tiba Allah menahan sebagian penglihatan beliau. Beliau merasakan seakan-akan ada orang yang memukul kepalanya.

1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,2. Karena Telah datang seorang buta kepadanya3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),4. Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,6. Maka kamu melayaninya.7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),9. Sedang ia takut kepada (Allah), 10. Maka kamu mengabaikannya.11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,12. Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,13. Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,14. Yang ditinggikan lagi disucikan,15. Di tangan para penulis (malaikat),16. Yang mulia lagi berbakti.(Abasa: 1-16)

Ada enam belas ayat yang Allah turunkan melalui perantara malaikat Jibril ke dalam hati nabi Muhammad mengenai masalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ayat itu sampai saat ini masih dibaca, dan akan terus dibaca hingga berakhirnya dunia kelak.

Sejak saat itulah Rasulullah mulai menghargai kedudukan Abdullah bin Ummi Maktum. Rasulullah selalu mendekat pada majlisnya apabila bertemu dengan Abdullah bin Maktum. Beliau juga selalu menanyakan kabarnya dan membantu Abdullah bin Ummi Maktum untuk menunaikan semua kebutuhannya.

Hal itu tidak mengherankan karena dengan sebabnya Rasulullah mendapatkan teguran yang sangat keras dari atas langit tujuh.

Ketika kaum Quraisy semakin membabi buta dalam menyiksa orang-orang beriman dan cobaan mereka semakin kuat, Allah mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah. Abdullah bin Ummi Maktum adalah orang yang paling dahulu meninggalkan negerinya dan berlari meninggalkan agamanya.

Abdullah bin Ummi Maktum dan Mush’ab bin Umair adalah orang yang paling pertama di kalangan para sahabat beliau yang hijrah ke Madinah.

Sesampainya di Madinah, Abdullah bin Ummi Maktum dan Mush’ab bin Umair langsung berpisah untuk membacakan al-Qur’an dan mengajarkan masalah agama kepada penduduk Madinah.

Sedangkan ketika Rasulullah` telah sampai di Madinah, Abdullah bin Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah menjadi muadzin Rasulullah `. Keduanya mengumandangkan kalimat tauhid sebanyak lima kali dalam sehari. Keduanya sama-sama mengajak manusia menuju kebaikan dan menghasung mereka menuju keberuntungan.

Terkadang Bilal bin Rabah yang mengumandangkan adzan sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum yang membaca iqamat. Atau terkadang Abdullah bin Ummi Maktum yang mengumandangkan adzan sedangkan Bilal bin Rabah yang membaca iqamat.

Sedangkan ketika Ramadhan Abdullah bin Ummi Maktum dan Bilal bin Rabah memiliki hal yang berbeda dibandingkan yang lainnya. Kaum muslimin mulai melaksanakan sahur ketika mendengar adzan salah satu dari keduanya dan menahan makan mereka ketika mendengar adzan salah satu dari keduanya.

Bilal mengumandangkan adzan malam membangunkan manusia, sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum mengumandangkan adzan subuh setelah mencari waktu yang tepat dan ternyata tidak pernah keliru.

Di antara bentuk penghormatan lain Rasulullah kepada Abdullah bin Ummi Maktum adalah beliau menjadikannya sebagai pengganti di Madinah ketika beliau tidak berada di Madinah selama beberapa puluh kali, salah satunya adalah ketika Rasulullah pergi untuk menaklukkan kota Makkah.

Pada akhir perang Badar Allah menurunkan ayat al-Qur’an kepada nabiNya yang meninggikan kedudukan para mujahidin (orang yang ikut berperang) dan memberikan keutamaan kepada mereka dibandingkan orang-orang yang tidak ikut berperang. Hal itu ternyata membuat para mujahidin semakin bersemangat, dan membuat orang yang tidak berperang menjadi ikut. Hal itu ternyata sangat membekas dalam diri Abdullah bin Ummi Maktum, dirinya merasa berkecil hati karena tidak bisa turut memperoleh keutamaan tersebut.

Abdullah bin Ummi Maktum berkata kepada Rasulullah `, Wahai Rasulullah, seandainya aku mampu untuk berjihad niscaya aku akan melakukannya. Setelah itu Abdullah bin Ummi Maktum berdoa kepada Allah dengan hati yang khusyu’ agar menurunkan ayat Qur’an yang menerangkan tentang kondisinya dan orang-orang yang senasib dengannya yang merasa sedih karena tidak bisa turut berjihad.

Dengan penuh rendah hati dia berdoa, “Ya Allah, turunkanlah ayat yang menerangkan tentang alasanku tidak berperang…. Ya Allah, turunkanlah ayat yang menerangkan tentang alasanku tidak berperang.”

Tidak lama berselang setelah itu Allah kmenurunkan ayatnya.

Zaid bin Tsabit, penulis wahyu yang Allah turunkan bercerita, “Aku berada di sebelah Rasulullah. Pada waktu itu Rasulullah sangat tenang, paha beliau berada di atas pahaku. Aku belum pernah mendapati paha yang lebih berat dari paha beliau. Dan ternyata pada waktu itu beliau sedang menerima wahyu.

Rasulullah berkata, “Wahai Zaid, tulislah! Lalu aku menuliskan

لاَيَسْتَوِى الْقَائِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُجَاهِدُوْنَ فِيِ سَبِيْلِ اللهِ….

“Tidaklah sama orang-orang yang tidak berperang dari kalangan orang beriman dengan orang yang berperang di jalan Allah….”

Lalu Abdullah bin Ummi Maktum berdiri dan bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu bagaimana dengan orang yang tidak mampun untuk berjihad?” Tidak berselang lama setelah beiau bertanya, tiba-tiba Rasulullah kembali tenang dan paha beliau jatuh ke atas pahaku (Zaid bin Tsabit). Aku merasakan berat yang sama dengan sebelumnya pada paha Rasulullah. Lalu turunlah wahyu kepada beliau.

Rasulullah berkata, “Bacalah apa yang engkau tuliskan wahai Zaid!”

Lalu aku membacakan,

لاَيَسْتَوِى الْقَائِدُوْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Tidaklah sama orang-orang yang tidak berperang dari kalangan orang beriman….

Rasulullah bersabda, “Tulislah ayat ini..

غَيْرُ أُولِى الضَّرَرِ

“…selain dari orang yang mempunyai halangan…”

Akhirnya Allah menurunkan ayat yang diinginkan Abdullah bin Ummi Maktum.

Meskipun Allah sudah memberikan toleransi bagi Abdullah bin Ummi Maktum untuk tidak turut berjihad namun jiwanya yang sangat mulia itu enggan untuk tinggal bersama orang-orang yang tidak ikut berperang (tanpa alasan). Dia bertekad kuat untuk bisa turut berjihad di jalan Allah. Hal itu karena orang yang berjiwa besar hanya mau dengan segala hal yang besar.

Sejak saat itulah dia bertekad kuat untuk tidak absen jika ada peperangan. Dia sudah merancang apa yang akan dia perbuat di arena peperangan. Abdullah bin Ummi Maktum berkata, “Taruhla aku di antara dua barisan perang, dan letakkanlah panji perang di pundakku, aku akan menjaganya, karena aku tidak bisa melarikan diri.”

Pada tahun 14 H, Umar bin Khattab bertekad kuat untuk dapat bersama-sama dengan pasukan berkuda muslimin di peperangan hingga mampu mengobrak-abrik kerajaan musuh, membinasakannya dan membukakan pintu masuk bagi pasukan kaum muslimin. Umar menuliskan surat kepada pegawainya yang berbunyi,

“Kerahkan secepatnya kepadaku semua orang yang mempunyai senjata, mempunyai kuda perang, dan mempunyai penglihatan!”

Akhirnya semua kaum muslimn memenuhi seruan Umar bin Khattab. Mereka semua pergi menuju Madinah dari berbagai penjuru daerah. Di antara pasukan berperang tersebut adalah Abdullah bin Ummi Maktum, sahabat yang buta.

Rasulullah mengangkat kepada pasukan sahabat-sahabat senior seorang komandan, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash. Rasulullah menasihatinya kemudian melepaskan kepergiannya.

Ketika pasukan muslimin tiba di daerah Qadisiyyah, nampaklah Abdullah bin Ummi Maktum dengan mengenakan baju perangnya dan membawa perlengkapan yang sangat lengkap. Dia membawa dan menjaga panji perang kaum muslimin atau mati dibawanya.

Pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan kafir. Peperangan berlangsung sangat sengit. Peperangan sedahsyat itu belum pernah terjadi dalam peperangan maupun penaklukkan sebelumnya. Baru pada hari ketiga dalam peperangan tampaklah kemenangan bagi kaum Muslimin.

Saat itu kerajaan yang paling besar tercabik-cabik oleh kaum muslimin. Tahta kerajaan binasa di tangan mereka. Panji tauhid berkibar di negeri penyembah berhala. Namun perang yang besar ini harus dibayar mahal dengan syahidnya ratusan syuhada’, di antara yang gugur menjadi syahid adalah Abdullah bin Ummi Maktum.

Abdullah bin Ummi Maktum mendapatkan luka yang sangat parah dan tersungkur syahid dalam keadaan memeluk panji perang.[1]


[1] Untuk lebih jelas mengetahui sejarah Abdullah bin Ummi Maktum, silahkan baca kitab,

- al-Ishabah at-Tarjamah halaman 5764

- at-Tabaqât al-Kubrâ juz 4 halaman 205

- Sifatus Shafwah juz 1 halaman 237

- Dzailul Mudzayyal halaman 36, 47

- Hayâtus Shahabah (lihat daftar isi)

- Terdapat beberapa pendapat mengenai nama Abdullah bin Ummi Maktum. Penduduk Madinah memanggilnya Abdullah, sedangkan penduduk Irak memanggilnya Umar. Sedangkan nama ayahnya tidak ada perbedaan pendapat, yaitu Qais bin Zaidah.


--sumber : masjid Alkhoir

Senin, 05 Januari 2009

Bara' bin Malik (Si Pemburu Kematian)

Ia adalah saudara kandung Anas bin Malik, pelayan Rasululah SAW dan perawi banyak hadits.
Ibu Anas telah membawanya kepada Rasulullah SAW dan berkata kepada beliau, "Inilah Anas, pelayanmu. Do'akanlah dia." Maka Rasulullah SAW mendo'akannya sehingga Anas panjang umurnya, banyak anak dan hartanya.
Bara' bin Malik sangat haus akan mati syahid. Semboyannya adalah Allah dan Surga."
Suatu hari ia jatuh sakit dan dijenguk oleh rekan-rekannya. maka ia berkata kepada mereka, "Mungkin kalian berharap akau mati diatas tempat tidurku. Tidak Demi Allah, Allah tidak akan mencegahku untuk meraih mati syahid."
pada pertempuran Yamamah, Bara' menjadi seorang pahlawan yang berada di garda terdepan. Saat ia melihat tentara Islam mundur dihadapan pasukan Musailamah Al Kadzdzab, ia berseru, "Wahai warga Madinah, tidak ada Madinah bagi kalian. Yang ada hanyalah Allah dan Surga.
saat Musailamah Al Kadzdzab memasuki kebun yang dinamakan dengan "Kebun Kematian" karena banyaknya tentara yang terbunuh disitu, maka Bara' bin Malik berteriak kepada pasukan Islam agar mengangkatnya dengan pedang mereka dan melemparkannya ke kebun itu. Lalu ia membuka pintunya sekalipun tubuhnya mendapat banyak pukulan pedang.
lalu lukanya sembuh dan ia diberi panjang umur oleh Allah hingga ia dapat mengikuti peperangan melawan orang-orang Persi yang menggunakan kail-kail dari besi panas untuk menjambret musuh.
tatkala Anas bin malik saudaranya tersangkut pada kail besi itu dan tidak dapat melepaskan diri karena sangat panas maka Bara' segera berusah melepaskannya sementara daging tangannya habis lantarannya. Bara ikut dalam peperangan Tustur bersama Anas untuk melawan tentara Persia.
Para sahabat berkata kepada Bara, "Ingatkah engkau wahai Bara akan sabda rasulullah : berapa banyak orang yang dekil dam kotor berpakaian lusush, jika ia bersumpah kepada Allah, pasti diperkenankan, diantara mereka adalah Bara bin Malik".
lalu mereka melanjutkan, "Hai Bara, bersumpahlah kepada Allah, demi kekalahan mereka dan kemenangan kita."
Bara' lalu membaca do'a, "Ya Allah, berikanlah kepada kami leher-leher mereka. ya Allah, kalahkanlah mereka. Ya Robbi anugerahilah kami kemenangan atas mereka dan gabungkanlah aku dengan Nabi-Mu."
Kemudian Bara' menembus barisan tentara dan menanglah pasukan Islam sementara didapati Bara' bin Malik berada di antara para syuhada, sepertinya ia mendengar ayat; "dan diserukan kepada mereka, Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan." (QS. Al A'rof : 43)
Semoga Allah meridhoi Bara' bin Malik.

Minggu, 04 Januari 2009

Mu'adz bin Jabal (Imam Para Ulama)

Dia tergolong sahabat Anshor dan ikut melakukan Bai'at "Aqobah kedua. Seorang pemuda yang bening mukanya yang dikagumi oleh Rasulullah SAW.
Tentangnya Rasulullah SAW bertutur, "Orang yang paling tahu tentang halal dan haram dari ummatku adalah Mu'adz bin Jabal." (HR. Bukhari)
Oleh karena itu Rasulullah SAW memilihnya untuk menjabat hakim dinegeri Yaman. Kepada Mu'adz rasulullah bertanya menguji, "Dengan apa engkau putuskan perkara?"
Ia menjawab, "Dengan Al qur'an"
"Jika tidak engkau temui masalahnya dalam al qur'an?" tanya beliau.
Mu'adz menjawab, merujuk ke Sunnah Rasulullah."
"Kalua engkau tidak dapati dalam sunnahku?", kembali beliau bertanya.
"Aku akan berijtihad denga pendapatku dan aku tidak akan berbuat kelalaian."
Mendengar jawaban Mu'adz itu, maka Rasulullah SAW bertuur kepadanya sambil menepuk dada Mu'adz, "Segenap puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah ke jalan yang diridhai oleh-Nya dan oleh rasul-Nya." (HR. Muttafaq 'Alaih).
Dia sangat berwibawa di antara para sahabat sehingga tidak ada yang berani bicara dihadapannya.
Umar bin Khattab banyak meminta pendapat kepadanya. Ia berujar, "Jika tidak ada Mu'adz celakalah Umar."
Tatkala Rasulullah SAW wafat, Mu'adz sedang bertugas dinegeri Yaman. Lalu ia pulang pada masa khalifah Abu Bakar dengan membaw aharta yang banyak. Ketika Umar ingin membagi-baginya, Mu'adz menolaknya.
Esoknya ia berangkat menemui Umar lalu berkata, "Tadi malam aku mimpi seakan-akan menembus lautan, aku takut aku tenggelam, lalu engkau datang menyelamatkan aku wahai Umar."
Kemudian keduanya berangkat menuju ke rumah Abu bakar. Abu Bakar tidak menerima sedikitpun dari apa yang dibawanya.
Maka Umar berkata, sekarang menjadi halal dan baik."
Mu'adz bin Jabal juga menjadi gubernur negeri syam pada masa Khalifah Umar bin Khattab menggantikan Abu Ubaidah. Tetapi tidak lama ia meninggal.
Umar sangat menghormatinya sehinnga ia berkata, Bila nanti Allah bertanya kepada aku mengapa aku mengangkat dia sebagai gubernur, maka ia menjawab, karena aku telah mendengar nabi-Mu bersabda, "sesungguhnya para Ulama ketika menghadap Rabb mereka, Mua'dz bin jabal ada didepan mereka."
Rasulullah SAW sangat cinta kepada Mu'adz sampai beliau bertutur kepadanya, "hai Mu'adz , sesungguhnya aku sangat mencintaimu. Maka janganlah kamu lupa usai setiap shalat membaca, "Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada Engkau dan beribadah dengan baik kepada Engkau."
Rasulullah SAW mengajak ngobrol dia dimana pada suatu pagi beliau bertanya, "Bagaimana keadaanmu pagi ini hai Mu'adz?"
Mu'adz menjawab, "Alhamdulillah aku berada pada keadaan beriman."
Mendengar jawaban itu, Rasulullah menukas, setiap kebenaran itu punya bukti. Mana bukti imanmu?"
Mu'adz berkata, "Tidaklah datang subuh melainkan aku menyangka bahwa aku tidak akan bertemu dengan sore dan tidaklah tiba petang melainkan aku menduga aku tidak akan sampai pagi hari. Dan tidaklah aku mengayunkan satu langkah kecuali aku menyangka bahwa aku tidak sempat mengayunkan langkah berikutnya. Aku sepertinya melihat setiap ummat berlutut dan dipanggil untuk mengambil kitab catatan amalnya. Lalu seolah-olah aku melihat penduduk surga didalam surga tengah asyik masyuk dengan beragam kenikmatannya sementara penduduk neraka di neraka sedang disiksa."
Maka Rasulullah bertutur, "Engkau telah mengetahui, maka pegang teguhlah." (HR. Ibnu Majah)
Abdullah bin Mas'ud telah memberinya pujian dengan penuturannya, "Mu'adz adalah satu umat yang kuat ibadah kepada Allah dalam keadaan lurus. Kami menyerupakannya dengan Nabiyullah Ibrahim As."
Mu'adz orang yang semangat memberikan bimbingan dan nasehat kepada orang-orang, ujarnya, "Hindarilah olehmu Hakim yang menyimpang dan kenalilah kebenaran malalui kebenaran. Karena kebenaran itu mempunyai cahaya."
Saat seseorang bilang kepadanya, "Ajarilah aku sesuatu", maka ia menukas, apakah engkau akan mematuhiku?"
Pria itu berujar, "Aku sangat bersungguh-sungguh untuk taat kepada engkau."
maka Mu'adz bin Jabal berpesan kepadanya, "Puasalah dan berbuka. Shalatlah dan tidur. Berusahalah dan jangan berbuat dosa. Janganlah engkau mati kecuali dalam keadaan muslim dan hindarilah orang-orang yang zalim."
Mu'adz bin jabal memandang iman itu sesutu yang harus berulang-ulang. Dia berkata pada teman-temannya, "Mari sejenak kita beriman."
Dalam sakaratul maut, ia membaca doa seperti ini, "Ya Allah sesungguhnya aku telah takut kepada Engkau. Hari ini aku menggantungkan harapan kepada Engkau. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku cinta kepada dunia bukan karena sungai yang berkelok, atau lantaran tanaman hijau yang elok, tetapi karena dahaga di siang yang terik dan menanggung kekangan jiwa berjam-jam serta meraih tambahan ilmu, iman dan ketaatan."
Lalu ia beranjak dari dunia. kala itu ia berkata, "Selamat datang wahai kematian, kekasih yang datang saat dibutuhkan."
Semoga Allah meridhoi Mu'adz bin Jabal.
--Profil 70 sahabat Nabi

Selasa, 23 Desember 2008

Ja'far bin Abu Thalib (Salah Seorang Syuhada Yang Terbang)

Ia adalah putra paman Rasulullah SAW yang paling mirip dengan beliau. Tergolong lebih dahulu dalam memeluk Islam. Tentangnya Rasulullah SAW bertutur, "engkau mirip akhlak dan bentukku."
Ja'far bin ABi Thalib menjadi ketua rombongan kaum muslimin yang hijrah ke Habasyah. Ia mendebat 'Amr bin Ash (yang kala itu belum masuk Islam) dihadapan raja Najasyi.
Ia berkata, "Wahai raja, kami dahulu adalah kaum jahiliyah pemnyembah berhala, pemakan bangkai, berbuat kekejian dan memutuskan silaturahmi, selain suka berbuat jahat kepada tetangga. Yang kuat dari kami memakan yang lemah. Sampai Allah membangkitkan kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami, yang nasabnya, kejujurannya, keterpercayaan dan kebersihannya telah kami kenal. Ia menyeru kami ke jalan Allah. Ia mengajak kami untuk mengEsakan Allah dan meninggalkan kebiasaan tuhan yang biasa disembah oleh kami dan nenek moyang kami. Dia menyuruh kami untuk jujur dalam bicara, menunaikan amanat, menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga dan menjauhi perbuatan haram, termasuk pertumpahan darah, juga menghindari dusta, memekan harta anak yatim, menuduh wanita yang baik berbuat zina.
Kami membenarkannya dan mengimaninya. Ternyata kami dimusuhi oleh kaum kami sendiri. Mereka menyiksa dan menyakiti kami agar kami kembali kepada agama mereka yaitu menyembha berhala. Ketika mereka memaksa kami, menzalimi dan menyikasa kami serta menteror kami, maka kami datang ke negeri engkau dengan harapan kami mendapat keamanan disini." (Sirah Ibnu Hisyam)
Maka Amr bin Ash menjawab, "Pengikut Muhammmad itu berpendapat aneh tentang Maryam." Maka Ja'far membaca surat Maryam dari pertama. Mendengar ayat dibacakan, maka raja Najasyi menangis lalu ia berkomentar : Demi Allah, apa yang disampaikannya dengan apa yang dibawa oleh 'Isa adalah sama."
Kemudian raja Najasyi mempersilahkan Amr bin Ash dan temannya untuk meninggalkan negeri itu dan menyuruh rombongan kaum muslimin yang diketuai Ja'far untuk tetap tinggal. Kepada rombongan kaum muslimin, Najasyi berkata : "Kalian bebas disini dalam keadaan aman. Dan orang yang menyakitimu harus menanggung akibatnya."
Raja Najasyi yang dahuylu kekuasaannya telah lenyap dikembalikan oleh Allah. Lalu ia menolak hadiah yang akan diberikan oleh orang-orang Quroisy seraya berkata, "Bawalah kembali hadiahmu. Aku tidak membutuhkannya. Demi Allah, Allah tidak mengambil suap dariku saat Dia mengembalikan kekuasaanku, maka akupun tidak mau mengambil suap." (Sirah Ibnu Hisyam).
Ja'far bin Abu Thalib kembali bersamaan dengan pennaklukan tanah Khaibar. Sehingga Rasulullah SAW bersabda, "Aku tidak tahu kenapa aku girang, apakah karena penaklukan tanah Khaibar atau karena kepulangan Ja'far."
Ja'far rindu mati syahid. Pada pertempuran Mu'tah dan setelah kematian Zaid bin Haritsah sebagai panglima serdadu Islam. Ja'far benar-benar menjadi pahlawan. Ia memegang posisi komandan hingga buntunglah kedua tangannya yang diganti Allah dengan dua sayap untuk terbang menuju surga sesukanya.
Saat sampai berita kematiannya, Rasulullah SAW berujar, "Bikinlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena mereka sedang sibuk." (HR. Tirmidzi).
ABu Hurairoh berkomentar memuji Ja'far, "Manusia terbaik bagi orang-orang miskin adalah Ja'far bin Abu Thalib.
Semoga Allah meridhoi Ja'far.

Minggu, 21 Desember 2008

Zaid bin Khattab (Syahid yang Beruntung)

Zaid bin Khattab adalah saudara Umar bin Khattab. Ia lebih dahulu masuk Islam dan baik Islamnya. Ia seorang mujahid yang banyak kembali kepada Allah.
Suatu hari Rasulullah SAW menyampaikan sebuah pernyataan, "Diantara kalian ada seorang laki-laki yang kecemasannya terhadap neraka lebih besar daripada gunung Uhud."
Pada peristiwa setelah wafatnya rasul, timbul gerakan yang mengkalim bahwa Musailamah adalah nabi. Adalah Rajjal bin Anfawah yang menipu banyak orang dengan mengatakan : bahwa aku mendengar Muhammad berkata, bahwa ia telah bersama-sama dengan Musailamah bin hubaib dalam hal kenabian."
Zaid bin Khattab adalah orang yang paling cemas terhadap gerakan Musailamah dan Rajjal. Ia begitu berani mati syahid dengan berbagai cara.
Pada perang Uhud baju perangnya hilang, maka Umar bin Khattab menawari dia untuk mengenakan baju perangnya.
Zaid berkata, "aku ingin mereguk manisnya mati syahid sebagaimana yang engkau inginkan. Maka a pun perang tanpa pakaian perang.
Pada peristiwa Perang Yamamah prajurit muslim memerangi tentara Musailamah. Ia melihat prajurit muslim ketakutan karena banyaknya yang terbunuh sebagai syuhada. maka ia berpekik: wahai saudara-saudara..kalian harus teguh..hanyamlah musuhmu..majulah kedepan. Demi allah aku tidak akan berbicara sampai Allah mengalahkan mereka atau sampai aku menjumpai Allah lalu aku bicara kepada-Nya dengan argumen yang akan aku sampaikan."
Ia lalu mencari Musailamah, tetapi pasukannya menyembunyikannya. Maka ia mencari Rajjal sampai ia menemukannya lalu menebas kepalanya yang membuat rasa takut muncul pada diri Musailamah dan Mahkan bin Thufail.
Ketika tentara Islam mengetahui kematian Rajjal, maka mereka yang terluka bangkit dan berperang dengan gigih, sementara Zaid rindu akan syurga. Maka ia menerobos pasukan sampai ia tewas dalam keadaan syahid.
Pulanglah prajurit Islam tanpa Zaid. Dan menangislah Umar bin Khattab seraya berkata, "Semoga Allah menghujani rahmat kepada Zaid. Ia telah mendahului aku memeluk Islam dan telah mendahului aku menjadi syahid."
Umar selalu mengenangnya, ia berkata, "Tidaklah angin berhembus melainkan aku mencium bau harum Zaid."
Semoga Allah meridhoi Zaid bin Khattab.