Zaid bin Haritsah, seorang yang dilukiskan oleh para ahli  sejarah dengan perawakan biasa, pendek, kulitnya coklat kemerah-merahan,  dan hidung yang agak pesek, adalah termasuk pahlawan-pahlawan Islam  yang besar.
 Sudah lama sekali Su’da, isteri Haritsah, berniat hendak berziarah ke  kaum keluarganya di kampung Bani Maan. Ia sudah gelisah dan seakan-akan  tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatanya. Pada suatu pagi yang  cerah, suaminya (ayah Zaid) mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk  keperluan itu. Kelihatan Su’da sedang menggendong anaknya yang masih  kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan  menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan  berangkat bersama dengan isterinya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya  disertai perasaan aneh: menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak  dan isterinya. Karena ia harus menyelesaikan tugas dan pekerjaannya,  perasaan gundah itu hilang jua. Kafilah pun berangkat meninggalkan  kampung itu; Harisah pun mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan  anaknya ….
 Haritsah melepas kepergian isteri dan anaknya dengan air mata  berlinang. Isteri dan anaknya pun sangat sedih dalam peristiwa  perpisahan itu.
 Setelah mereka berdua sampai di tempat tujuan, beberapa waktu  kemudian terjadilah musibah yang menimpa penduduk kampung Bani Maan.  Kampung itu habis porak-poranda diserang oleh gerombolan perampok Badui.  Semua barang berharga milik penduduk kampung itu dikuras habis;  penduduknya ditawan dan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan,  termasuk si kecil Zaid bin Haritsah.
 Dengan perasaan duka, pulanglah Su’da untuk menyusul suaminya seorang  diri. Demi Haritsah mengetahui kejadian itu, ia pun jatuh tak sadarkan  diri. Dengan tongkat di pundaknya segera ia berjalan mencari anak  kesayangannya. Padang pasir dijelajahinya, kampung demi kampung  diselidikinya. Sesekali ia bertanya kepada kabilah yang lewat;  kalau-kalau ada yang tahu keberadaan anaknya tersayang, Zaid. Usahanya  itu pun belum menunjukan hasil. Sambil menghibur diri, ia bersyair:
 “Kutangisi Zaid ku tak tahu apa yang telah terjadi
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati?
Demi Allah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya
Apakah di lebah ia celaka, atau dibukit ia binasa?
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma
Tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa, diriku jadi merana.”
 Ketika kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan  rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan  tawanan hasil rampokannya. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam.  Pada kemudian harinya ia memberikannya kepada Siti Khadijah. Pada waktu  itu, Khadijah ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum  diangkat menjadi rasul oleh Allah SWT).
 Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi  Muhammad. Beliau pun menerimanya dengan senang hati, lalu segera  memerdekannya. Dengan pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid  diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti  terhadap anaknya sendiri.
 Pada salah satu musim haji, sekelompok orang dari desa tempat  Haritsah tinggal berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan  kerinduan ayah bunda Zaid. Zaid balik menyampaikan pesan salam rindu dan  hormatnya kepada kedua orang tuanya. Kepada para hujaj atau jamaah haji  itu, Zaid berkata, “Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku  di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”
 Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia  mengatur perjalanan ke Mekah bersama seorang saudaranya. Sesampainya di  Mekah, ia menanyakan di mana rumah Muhammad. Setelah bertemu dengan  Muhammad, Harisah berkata, “Wahai Ibnu Abdul Muththalib…!, wahai putera  dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk tanah Suci yang biasa  membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan.  Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya  menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang  tebusannya seberapa adanya?”
 Muhammad merasakan benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut  kepadanya, tetapi dalam pada itu merasakan pula hal seorang ayah  terhadap anaknya. Maka kata Muhammad kepada Haritsah,”Panggilah Zaid itu  ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka  akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya, jika ia  memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan  menyerahkan orang yang telah memilihku!”
 Mendengar ucapan Muhammad yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri  kegirangan karena tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan  seperti itu, lalu ucapnya: “Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan  Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!”
 Kemudian Muhammad menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya  dihadapannya, beliau langsung bertanya, “Tahukah Engkau siapa  orang-orang ini?” “Ya, tahu,” jawab Zaid.” Yang ini ayahku, sedangkan  yang seorang lagi adalah pamanku.”
 Kemudian Muhammad mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada  ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.
 Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab, “Tak ada orang pilihanku, kecuali Anda (Muhammad)! Andalah ayah, dan Andalah pamanku!”
 Mendengar itu, kedua mata Muhammad basah dengan air mata karena rasa  syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan  Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu  serunya:
 “Saksikan oleh kalian semua bahwa mulai saat ini Zaid adalah anakku… yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.”
 Mendengar ucapan itu hati Harits seakan-akan berada diawang-awang  karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya  bebas merdeka tanpa tebusan, malahan sekarang diangkat anak pula oleh  seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan  “Ash-Shadiqul Amin”(orang lurus terpercaya), keturunan Bani Hasyim,  tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
 Meskipun telah sekian lama merindukan anaknya kembali, Zaid dan  pamannya pulang dengan hati yang tenteram karena anaknya berada dalam  naungan keluarga yang termulia, keluarga Muhammad.
 Muhammad telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat, maka menjadi terkenallah ia diseluruh Mekah dengan nama “Zaid bin Muhammad.”
 Pada suatu hari yang cerah, seruan wahyu yang pertama datang kepada Muhammad, “Bacalah  dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan! Ia menciptakan  manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,  yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia  apa-apa yang tidak diketahuinya.” (al-Alaq: 1-5).
 Kemudian datang susul-menyusul wahyu berkikutnya kepadanya, “Wahai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah.” (al-Muddatsir: 1-3)
 “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.  Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu  tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (genggaman)  manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang  yang kafir.” (al-Maidah: 67)
 Tidak tak lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya dengan  turunnya wahyu tersebut, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk  Islam, bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama.
 Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang  pantas dan wajar disebabkan kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan  dan kesucian hatinya, sertaiterpelihara lidah dan tangannya.
 Semua itu menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid  Kesayangan” sebagaimana yang telah dipanggilkan sahabat-sahabat rasul  kepadanya. Berkatalah Aisyah ra, “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu  pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat  menjadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah  ia akan diangkatnya sebagai khalifah.”
 Suatu ketika Rasulullah saw berdiri melepas bala tentara Islam yang  akan berangkat menuju medan perang Muktah melawan orang-orang Romawi.  Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan  secara berurutan, sabdanya:
 “Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya  ia tewas, pimpinan akan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib; dan  seandainya Jafar tewas pula, maka komando hendaklah dipegang oleh  Abdullah ibnul Rawahah.”
 Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah saw. Siapakah sebenarnya Zaid ini?
 Ia seorang anak yang pernah ditawan, diperjualbelikan, lalu  dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang  berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek, tapi ia  adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka.  Karena itulah, ia mendapt temapat yang tinggi di dalam Islam dan di hati  Rasululah saw.
 Rasulullah saw menikahkan Zaid dengan Zainab. Sayangnya,  pernikahannya tidak berumur panjang dan berakhir dengan perceraian.  Kesediaan Zainab menikah dengan Zaid hanya karena rasa enggan menolak  anjuran dan syafaat Rasulullah, dan karena tidak sampai hati menolak  Zaid sendiri. Maka Rasulullah saw mengambil tanggung jawab terhadap  rumah tangga Zaid ini yang telah pecah itu. Rasulullah merangkul Zainab  dengan menikahinya sebagai isterinya, kemudian mencarikan Ummu Kultsum  binti ‘Uqbah yang kemudian dinikahkan dengan Zaid.
 Karena peristiwa tersebut, terjadilah kegemparan di kalangan  masyarakat kota madinah. Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul  menikahi bekas isteri anak angkatnya.
 Tantangan dan kecaman ini kemudian dijawab oleh Allah SWT dengan  wahyu-Nya yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau anak  adaptasi dengan anak sebenarnya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan  yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
 “Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki (yang ada  bersama) kalian. Tetapi, ia adalah Rasul Allah dan Nabi penutup.  (al-Ahzab: 40)
 Dengan turunnya wahyu tersebut, Zaid kemudian dipanggil dengan sebutan “Zaid bin Haritsah.”
 Dan sekarang….
Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang  “Al-Jumuh” komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Kekuatan-kekuatan  laskar Islam yang begerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-’Ish,  al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah juga?  Begitulah, sebagaimana yang pernah kita dengar dari Aisyah ra  sebelumnya, “Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia  yang diangkat menjadi pemimpinnya.”
 Suatu ketika datanglah perang Muktah yang terkenal itu. Adapun  orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka secara  diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka  melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan mereka.  Terutama di daerah jajahan mereka, Syam (Syiria) yang berbatasan dengan  negara dari agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam  membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah.  Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai  batu loncatan untuk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
 Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tuan terakhir mereka yang hendak  menumpas kakuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang yang  ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan  mendadak sebelum diserang di daerahnya sendiri.
 Demikianlah, pada bulan Jumafil Ula, tahun yang kedelapan Hijriah,  tentara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Demi mereka  sampai di perbatasannya, mereka dihadapi tentara Romawi yang dipimpin  oleh Heraklius, dengan mengerahkan juga kabilah-kabilah atau suku-suku  badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu  daerah yang bernama Masyarif, sedangkan laskar Islam mengambil posisi di  dekat negeri kecil yang bernama Muktah yang kemudian dijadikan nama  pertempuran ini.
 Rasulullah saw mengetahui benar arti penting dan bahayannya  peperangan ini. Oleh sebab itu, beliau sengaja memilih tiga orang  panglima perang yang di waktu malam bertakarub mendekatkan mendekatkan  diri kepada Ilahi, sedangkan di siang hari sebagai pendekar pejuang  pembela agama. Tiga orang pahlawan itu adalah mereka yang siap  menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, yang tiada berkeinginan  kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan  kalimat Allah, yang mengharap semata-mata ridha Illahi dengan menemui  wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak.
 Mereka bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Zaid bin  Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, moga-moga  Allah rela kepada mereka dan menjadikan mereka rela kepada-Nya, serta  Allah merelakan pula seluruh sahabat lainya.
 Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak berangkat  itu. Rasul melepas mereka dengan amanat, “Kalian harus tunduk kepada  Zaid bin Harits sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang  oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan senadainya Ja’far gugur pula, maka  tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawabah.”
 Ja’far bin Abi Thalib dijadikan orang yang kedua setelah Zaid,  meskipun keberanian dan ketangkasanya serta keturunan dan  kebangsawanannya tidak diragukan lagi, bahkan orang yang paling dekat  kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri.
 Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam  mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis  segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang  ditegakkan atas yang batil dan rasialisme. Islam mengganti sistem-sistem  yang tidak baik itu atas bimbingan dan hidayah Ilahi yang berpokok  kepada hakikat kemanusiaan.
 Ketika Rasulullah memilih mereka bertiga untuk menjadi pemimpin  pasukan secara berurutan, seolah-olah beliau telah telah mengetahui  secara ghaib tentang pertempuarn yang akan berlangsung. Beliau mengatur  dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu  lalu Ja’far, kemudian Ibnu Abi Rawahah, ternyata ketika mereka menemui  ajalnya, pulang ke rahmat Allah sebagai syuhada, sesuai dengan urutan  itu pula.
 Demi Kaum Muslimin melihat tentara romawi yang jumlahnya menurut  taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka  duka sama sekali, mereka terkejut. Tetapi kapankah pertarungan yang  didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?
 Ketika itulah, disana, merek amaju terus tanpa gentar, tak perduli  dan tak menghiraukan besarnya musuh. Didepan sekali kelihatan dengan  tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh  panji-panji Rasulullah SAW. maju menyerbu laksana topan, dicelah-celah  desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya  semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa  yang telah dijanjikan Allah, yaknitempat pembaringan disisi Allah,  karen sesuai dengan firman-Nya:
 “Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang Mu’min dengan surga sebagai imbalannya.” (QS. at-Taubah: 111)
 Zaid tak sempat melihat pasir Balqa’, bahkan pula keadaan bala  tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga  dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang  memberitakan kepadanya, bahwa irulah hari istirahat dan kemenanggannya.
 Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menbas, membunuh atau  dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyala  membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya kekampung  kedamaian, surga yang kekal disisi Allah.
 Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir. Rohnya yang  melayang dalam perjalannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya  yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang  mengalir di jalan Allah.
 Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat  panglima yang kedua Ja’far melesit maju ke depan laksana anak panah  lepas dari busurnya. untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya  sebelum jatuh ketanah.